KITA







Jumat, 03 Januari 2014

BENCANA LUMPUR LAPINDO - SIDOARJO

BENCANA LUMPUR LAPINDO - SIDOARJO
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan 2
Dosen: Selly Rahmawati, S.Pd, M.Pd.



       Nining Purwaningsih
                 A3-12
           12144600104


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2013


A.    Bencana Lumpur Lapindo

Bencana lumpur lapindo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.
Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Namun bahan tulisan lebih banyak yang condong kejadian itu adalah akibat pemboran.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).







Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)
Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/1/16/Ubo.jpg/250px-Ubo.jpg

Setelah kedalaman 9.297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar disebabkan karena adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke Madura seperti Gunung Anyar di Madura, "gunung" lumpur juga ada di Jawa Tengah (Bleduk Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar 100.000 meter kubik perhari, yang tidak mungkin keluar dari lubang hasil "pemboran" selebar 30 cm. Dan akibat pendapat awal dari WALHI maupun Meneg Lingkungan Hidup yang mengatakan lumpur di Sidoarjo ini berbahaya, menyebabkan dibuat tanggul di atas tanah milik masyarakat, yang karena volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas.







B.    Pelanggaran HAM pada Bencana Lumpur Lapindo

Menurut saya pada kasus bencana lumpur lapindo banyak terjadi pelanggaran HAM, bencana lumpur lapindo bukanlah sebuah bencana alam akan tetapi karena kesalahan dari manusianya. Terbukti dari pihak Lapindo Brantas menyatakan statment yang simpang siur mengenai bencana tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Selain hal itu saya memiliki alasan-alasan yang menguatkan bahwa banyak terjadi pelanggaran HAM pada kasus bencana lumpur lapindo yang bukan sebuah bencana alam melainkan kesalahan manusia, diantaranya akan saya bahas di bawah ini:
Hasil uji lumpur lapindo menunjukkan:
Beberapa hasil pengujian
Parameter
Hasil uji maks
Baku Mutu
(PP Nomor 18/1999)
0,045 Mg/L
5 Mg/L
1,066 Mg/L
100 Mg/L
5,097 Mg/L
500 Mg/L
0,05 Mg/L
5 Mg/L
0,004 Mg/L
0,2 Mg/L
Sianida Bebas
0,02 Mg/L
20 Mg/L
Trichlorophenol
0,017 Mg/L
2 Mg/L (2,4,6 Trichlorophenol)
400 Mg/L (2,4,4 Trichlorophenol)








Berdasarkan pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo, Corelab dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 baik untuk bahan anorganik seperti Arsen, Barium, Boron, Timbal, Raksa, Sianida Bebas dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform dan sebagainya. Hasil pengujian menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu.
Hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun organisme akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa lumpur tersebut tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50 adalah pengujian konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50 persen hewan uji mati. Hasil pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki nilai LC50 antara 56.623,93 sampai 70.631,75 ppm Suspended Particulate Phase (SPP) terhadap larva udang windu dan di atas 1.000.000 ppm SPP terhadap Daphnia carinata. Sementara berdasarkan standar EDP-BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan beracun bila nilai LC50-nya sama atau kurang dari 30.000 mg/L SPP.
Di beberapa negara, pengujian semacam ini memang diperlukan untuk membuang lumpur bekas pengeboran (used drilling mud) ke dalam laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari 30.000 Mg/L SPP, lumpur dapat dibuang ke perairan.
Namun Simpulan dari Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan hasil berbeda, dari hasil penelitian Walhi dinyatakan bahwa secara umum pada area luberan lumpur dan sungai Porong telah tercemar oleh logam kadmium (Cd) dan timbal (Pb) yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi kadarnya jauh di atas ambang batas. Dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata lumpur Lapindo dan sedimen Sungai Porong kadar timbal-nya sangat besar yaitu mencapai 146 kali dari ambang batas yang telah ditentukan.
Berdasarkan PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam lingkungan adalah 230 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/kg. Maka dari hasil analisis di atas diketahui bahwa seluruh titik pengambilan sampel lumpur Lapindo mengandung kadar Chrysene di atas ambang batas. Sedangkan untuk Benz(a)anthracene hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20, yang kesemunya di atas ambang batas.
Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/e6/Home_sunk_by_mud_flow.JPG/250px-Home_sunk_by_mud_flow.JPG
Dengan fakta sedemikian rupa, yaitu kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2000 kali di atas ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia dan lingkungan:
·         Bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan)
·         Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan kulit
·         Kanker
·         Permasalahan reproduksi
·         Membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit
Dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan terlihat sekarang, melainkan nanti 5-10 tahun kedepan. Dan yang paling berbahaya adalah keberadaan PAH ini akan mengancam kehidupan anak cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo beserta ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Namun sampai Mei 2009 atau tiga tahun dari kejadian awal ternyata belum terdapat adanya korban sakit atau meninggal akibat lumpur tersebut.

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun.
·         Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
·         Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
·         Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
·         Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
·         Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)

·         Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
·         Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
·         Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
·         Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah.
·         Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.
·         Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
·         Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
·         Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.
Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 13 tersangka yakni :
1.      Ir. EDI SUTRIONO selaku Drilling Manager PT. Energy Mega Persada, Tbk.
2.      Ir. NUR ROCHMAT SAWOLO, MESc selaku Vice President Drilling Share Services PT. Energy Mega Persada, Tbk.
3.      Ir. RAHENOD selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa.
4.      SLAMET BK selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa.
5.      SUBIE selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa.
6.      SLAMET RIYANTO selaku Project Manager PT. Medici Citra Nusa.
7.      YENNY NAWAWI, SE selaku Dirut PT. Medici Citra Nusa.
8.      SULAIMAN Bin H.M. ALI selaku Rig Superintendent PT. Tiga Musim Mas Jaya.
9.      SARDIANTO selaku Tool Pusher PT. Tiga Musim Mas Jaya.
10.  LILIK MARSUDI selaku Driller PT. Tiga Musim Mas Jaya.
11.  WILLEM HUNILA selaku Company Man Lapindo Brantas, Inc.
12.  Ir. H. IMAM PRIA AGUSTINO selaku General Manager Lapindo Brantas, Inc.
13.  Ir. ASWAN PINAYUNGAN SIREGAR selaku mantan General Manager Lapindo Brantas, Inc.
Namun perkara pidana tersebut dihentikan oleh penyidik Polda Jawa Timur dengan alasan bahwa dalam perkara perdatanya gugatan YLBHI dan Walhi kepada Lapindo dan pemerintah telah gagal. Selain itu, adanya perbedaan pendapat para ahli. Gerakan Menutup Lumpur Lapindo pernah mengajukan nama-nama ahli tambahan, para ahli terkemuka Indonesia dan luar negeri yang tergabung dalam Engineer Drilling Club (EDC) yang mendukung fakta kesalahan pemboran berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tersebut, tetapi ditolak oleh penyidik Polda Jawa Timur (tidak ditanggapi).
Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. "Otomatis UU pencemaran lingkungan hidup ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan hidup," kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Bachrul Alam yang sejak tahun 2009 menjadi Kapolda Jawa Timur.
Sesak nafas, kesemutan, pusing dan nyeri persendian badan menimpa anak-anak sampai dewasa. Itulah antara lain gangguan kesehatan warga yang hidup di sekitar lumpur Lapindo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim).
“Saat ini warga setiap hari hirup gas. Banyak yang sakit pernapasan. Banyak juga yang sakit kepala, pusing, nyeri. Ini aneh, biasa nyeri sendi kalau sudah dewasa. Di sana anak-anak sudah mengalami,”  kata Abdul Rohim, warga Besuki kepada Mongabay, pertengahan Mei 2013.
Dianto Bachriadi, Komisioner Komnas HAM mengatakan, pada 2012, Komnas HAM telah menemukan fakta dan bukti permulaan terjadi 15 pelanggaran HAM dari kasus lumpur Lapindo ini.  Pelanggaran HAM itu antara lain,  hak rasa aman, hak pengembangan diri, perumahan, pangan, kesehatan,  pelanggaran hak pekerja, hak atas pendidikan dan berkeluarga, kesejahteraan, jaminan sosial, hak para pengungsi sampai hak kelompok rentan.
Sayangnya, sampai saat ini hasil temuan Komnas HAM bak menjadi tumpukan kertas semata. Tak ada tindaklanjut berarti. Dia membenarkan, meskipun Komnas HAM  sudah menyatakan ada pelanggaran tetapi tidak ada konsekuensi khusus. Untuk itu,  lembaga ini mendesak pemerintah peduli pada persoalan yang menciptakan pelanggaran  HAM, dan kerugian material serta masa depan ribuan orang ini. Jika mendiamkan saja, kata Dianto, berarti pemerintah gagal mengelola negara. “Orang sudah jelas ada pelanggaran, korban sudah jelas tapi do nothing.”

Bosman Batubara Geolog UGM mengatakan, keterlambatan pemerintah dalam menyelesaikan masalah lumpur Lapindo Sidoarjo disebabkan tidak adanya definisi yang tepat dalam memahami bencana yang terjadi. Selama ini, pemerintah memahami semburan lumpur sebagai bencana teknologi saja. Padahal, bencana tersebut terjadi karena meningkatnya kebutuhan produksi.
“Yang terjadi di Sidoarjo bukanlah bencana alam atau teknologi. Ini adalah bencana industri,” tegas alumni Jurusan Teknik Geologi UGM ini dalam rilisnya yang diterima suarasurabaya.net, Selasa (28/5/2013).
Bosman menjelaskan, bencana industri bisa terjadi karena kesengajaan manusia yang tidak menaati prosedur keamanan produksi. Dalam kasus lumpur Sidoarjo, kesalahan bermula dari kesengajaan PT Lapindo Brantas untuk tidak memasang casing yang tepat pada sumur bor Banjar Panji 1 (BPJ 1). Kesengajaan tersebut bisa jadi disebabkan oleh keinginan menekan biaya produksi.
“Ini terjadi karena pemerintah telah menyerahkan segala permasalahan kepada mekanisme pasar,” ujar Bosman. Bosman melanjutkan, dalam kasus lumpur Sidoarjo juga telah terjadi pelanggaran HAM berat terhadap para korban. Akan tetapi, Komnas HAM menolak menganggap bencana ini sebagai suatu bentuk pelanggaran. Padahal berdasarkan kajian yang Bosman lakukan, setidaknya terdapat dua pasal yang bisa mengindikasikan terjadinya pelanggaran.

“Pasal pertama adalah telah terjadi perluasan dampak dari lumpur Sidoarjo. Yang kedua karena para korban harus berpindah secara terpaksa dari tempat tinggal mereka,” ujar pria asal Sumatera Utara yang juga pernah terlibat dalam tim peneliti lumpur Sidoarjo ini.
Terjadinya banyak pelanggaran HAM pada kasus lumpur Sidoarjo juga diamini oleh Harwati, salah seorang korban lumpur dari Desa Siring, Sidoarjo. Menurutnya, masyarakat Porong telah ditindas dengan adanya lumpur ini. Ia mengatakan, sudah tidak terhitung lagi kerugian yang dialami oleh korban lumpur dalam waktu tujuh tahun ini. Apalagi proses ganti rugi yang dijanjikan oleh PT Lapindo Brantas belum sepenuhnya selesai.
Dampak lain yang muncul dari bencana ini adalah berkurangnya akses korban lumpur terhadap pendidikan dan kesehatan. Harwati mencatat, di tahun 2013 ini ada banyak anak korban lumpur yang kesulitan membayar iuran sekolah. Bahkan ada seorang anak yang terpaksa menunggak iuran sekolah sebesar Rp 3,5 juta.
Permasalahannya pun semakin luas mulai dari ganti rugi untuk korban sampai hak hidup warga Sidoarjo yang terampas. Menurut Bosman permasalahan Lumpur Lapindo menyangkut aspek mitigasi bencana, hukum, HAM, ekonomi serta sosial politik.
Dalam menangani tragedi kemanusiaan ini, rupanya pemerintah Indonesia masih berpihak kepada korporasi, yakni PT Lapindo Brantas. Hal ini terlihat dalam Peraturan Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden SBY, antara lain Perpres No 14 tahun 2007, No 48 tahun 2008, dan 40 tahun 2009. Ketiga perangkat hukum ini mengatur tanggung jawab antara pemerintah dan PT Lapindo Brantas.
Ditambah keputusan Komisi Nasional HAM tahun 2012 yang mengeluarkan putusan bahwa bencana Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat. Keputusan soal hajat hidup orang banyak ini ditentukan dengan pungutan suara. Dari 11 komisioner, 5 anggota Komnas HAM sepakat tragedi itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Penyemburan lumpur Lapindo yang mengakibatkan kerusakan besar dinilai sebagai upaya pemusnahan struktur kehidupan masyarakat secara perlahan dan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Pembuangan limbah lumpur ke Selat Madura juga berakibat meningkatnya kandungan nitrogen dan fosfat.
Hal itu disampaikan secara bersama-sama oleh lima organisasi masyarakat sipil yang bergerak di sektor lingkungan dan pemantauan HAM. Mereka adalah Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
"Kasus Lumpur Lapindo ini adalah rangkaian panjang dalam pelanggaran HAM. Ini sudah dianggap sebagai pemusnahan secara perlahan-lahan dengan menghancurkan struktur kehidupan masyarakat sehingga termasuk pelanggaran HAM berat," kata Haris Azhar, Koordinator Kontras, dalam konfrensi pers di Jakarta, Senin 28 Mei 2012.
Dia memaparkan pelanggaran HAM itu dalam kasus itu sudah paripurna karena sudah diketahui  rangkaian pelanggaran yang terjadi terhadap masyarakat, siapa pelakunya, kerusakan yang diakibatkan serta adanya kebijakan pemerintah terkait dengan hal tersebut.Menurut Haris, masalah itu ditambah dengan persoalan hukum baik oleh aparat maupun komisi negara seperti Komnas HAM. PADA bulan Agustus tahun 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengeluarkan putusan bahwa bencana Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat. Keputusan Komnas HAM ini diambil berdasarkan pemungutan suara di kalangan komisionernya. Dari 11 orang komisioner, 5 orang (Syafruddin Ngulma Simeulue, Kabul Supriyadhie, Nur Khalis, Munir Mulkhan dan Saharudin Daming) sepakat menyatakan bahwa Lumpur Lapindo adalah kejahatan HAM berat, sementara 6 orang yang lain (Ifdhal Kasim, Yosep Adi Prasetyo, Johny Nelson Simanjuntak, M. Ridha Saleh, Hesti Armiwulan dan Ahmad Baso) menyatakan bahwa Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat (Nugroho, 2012). Tulisan ini, akan melihat argumentasi di balik putusan tersebut.
Komnas HAM, melalui salah satu komisionernya yang terlibat dalam pemungutan suara yang disampaikan di atas, M. Ridha Saleh, menyatakan bahwa mereka memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam kategori pemusnahan lingkungan atau ekosida dan menilai bahwa kejahatan ini termasuk ke dalam kejahatan berat dan berdampak sangat luas bagi kehidupan manusia, tetapi mereka tidak bisa menggunakan argumen pelanggaran HAM berat karena menurut Undang-undang Nomer 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut UU 26/2000) hanya ada dua kategori yang masuk pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan kemanusiaan dan genosida. Karena itu, kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diperlakukan sebagai pelanggaran HAM berat, meskipun ada sebanyak 15 poin pelanggaran HAM dalam kasus ini. Tetapi Komnas HAM sepakat bahwa kasus ini bukan bencana alam. Dan sebagai rekomendasi, Komnas HAM memasukkan klausul ekosida dalam draft amandemen UU 26/2000. Komnas HAM juga mengaku kesulitan memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam pelanggaran HAM berat karena yurisprudensi pelanggaran HAM berat dilakukan oleh negara, bukan korporasi (Desiyani, 2012).
Apa itu ‘pelanggaran HAM berat?’ Pasal 7 UU 26/2000 menjelaskan bahwa  ada dua macam pelanggaran HAM berat yaitu a)kejahatan genosida; dan b)kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam kasus Lumpur Lapindo, yang paling relevan didiskusikan adalah ‘kejahatan terhadap kemanusiaan.’ Selanjutnya Pasal 9 UU 26/2000 menyebutkan, ‘Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a) pembunuhan; b) pemusnahan; c) perbudakan; d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional; f) penyiksaan; g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jems kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; dan i)penghilangan orang secara paksa; atau j) kejahatan apartheid.’
Ada dua hal yang paling relevan dieksplorasi lebih lanjut sehubungan dengan kasus Lumpur Lapindo. Pertama adalah kriteria ‘perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Poin ini bisa dipecah menjadi bagian ‘meluas atau sistematik’ dan ‘ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Kedua adalah permasalahan yang berhubungan dengan poin ‘d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.’ Mari kita lihat satu-per satu.
Tidak dijelaskan apa pengertian ‘meluas atau sistematik’ dalam bagian ‘penjelasan’ UU 26/2000. Karena itu, untuk tahap pertama akan diambil kategori ‘meluas’ dengan pengertian ‘bertambah luas.’
Kategori ‘meluas’ jelas terpenuhi dalam kasus Lumpur Lapindo. Hal ini dapat kita lihat dari 4 Perpres yang berhubungan dengan kasus ini. Pertama adalah Perpres 14/2007 yang memasukkan daerah Desa Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan Renokenongo ke dalam peta area terdampak. Kedua, Perpres 48/2008 yang menambahkan Desa Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring ke dalam area terdampak. Ketiga, Perpres 40/2009 yang menambahkan  RT 1, RT 2, RT 3, d a n RT 12 Rukun Warga (RW) 12 Desa Siring Barat; RT 1 dan RT 2 RW 1 Desa Jatirejo dan RT 10, RT 13, dan RT 15 RW 2 Desa Mindi. Keempat, Perpres 37/2012 yang menambahkan  beberapa RT dan hamparan sawah di Desa Besuki, Kelurahan Mindi, Desa Pamotan, Kelurahan Gedang, Desa Ketapang, Desa Gempolsari, Desa Kalitengah, dan Desa Wunut ke dalam area terdampak.
Kriteria kedua adalah ‘ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Bagian ini dieksplorasi lebih lanjut pada bagian ‘Penjelasan’ terhadap Pasal 9 UU 26/2000 yang menyatakan bahwa ‘Yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.’
Dalam hal ini kasus Lumpur Lapindo adalah jelas ‘kebijakan penguasa’ berupa pemberian izin terhadap pemboran eksplorasi di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), milik PT. Lapindo Brantas Inc. (LBI). Ini berarti, tulisan ini sudah mengambil posisi bahwa penyebab terjadinya bencana Lumpur Lapindo adalah aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Untuk itu, perlu diulas sedikit mengenai permasalahan ini.
Seperti yang sudah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan (Batubara, 2009a; Batubara, 2011; Batubara dan Utomo, 2010 dan 2012; dan Batubara, akan segera terbit) bahwa secara umum ada dua kelompok pendapat di kalangan geosaintis tentang penyebab terjadinya Lumpur Lapindo. Kelompok pertama adalah yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Kelompok kedua adalah yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo dipicu oleh reaktivasi patahan Watukosek akibat adanya gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (dua hari sebelum seburan Lumpur Lapindo). Saya berada di kelompok pertama. Perlu saya tegaskan di sini, ada dua argumen kunci yang saya pegang sehingga saya memilih posisi ini. Pertama, saya mengacu ke  Manga (2007) yang berdasarkan data gempa bumi menyatakan bahwa gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 terlalu jauh jaraknya dan terlalu kecil magnitude-nya untuk memicu semburan lumpur di daerah Porong. Kedua saya mengacu ke Tingay et al. (2008) yang menampilkan data bahwa selubung pemboran (casing) di sumur BJP-1 dipasang lebih pendek dari yang direncanakan. Menurut saya, inilah jantung dalam perdebatan penyebab Lumpur Lapindo. Dan sampai saat ini, sependek yang dapat saya ikuti, dua fakta kunci ini belum pernah terbantahkan. Secara logika, melalui studi yang sangat bagus terhadap kasus-kasus pengadilan bencana industri di seluruh dunia, Wibisana (2011) menunjukkan bahwa keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang menerima argumen pihak Lapindo bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa bumi Yogyakarta, mengandung cacat.
Dengan demikian, sekarang kita akan melihat proses pengeboran sumur BJP-1. Dalam sejarahnya, kehadiran sumur ini sudah bermasalah. Masalah terletak pada dua hal. Pertama, masalah letak.  Posisi sumur BJP-1 tidak sesuai dengan rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu itu belum diubah). RTRW Sidoarjo termaksud menyatakan bahwa lokasi sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non-kawasan, bukan untuk pertambangan (Subagyo, 2010). Masalah kedua terletak pada informasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan kepada warga bahwa tanah lokasi sumur BJP-1 dibeli bukan untuk pengeboran, tetapi untuk kandang ayam (Batubara dan Utomo, 2010).
Tahapan berikutnya adalah apakah kebijakan pemberian izin (oleh penguasa) ini masuk dalam kategori ‘suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil?’ Jelas jawabannya adalah ya. Karena korban yang timbul dalam kasus Lumpur Lapindo terutama adalah masyarakat beberapa desa seperti terdapat dalam empat Perpres di atas. Berdasarkan Peta Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan Realisasi Hasil Verifikasi Ganti Rugi Lahan Terdampak yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada bulan Februari tahun 2008, tercatat jumlah korban di area terdampak (waktu itu) adalah sebanyak 37.850 jiwa.
Kesemua korban yang disebutkan di atas mengalami perpindahan secara terpaksa dan hal ini memberikan dampak yang sangat mendalam terhadap kehidupan ekonomi (Batubara, 2009b), budaya, relasi gender, relasi intergenerasi (Fauzan dan Batubara, 2010) bahkan memori mereka (Batubara, 2009c). Hal terakhir memenuhi kategori Pasal 9 UU 26/2000 ayat ‘d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.’
Argumen tentang yurisprudensi kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara juga terasa tidak tepat. Karena yurisprudensi dijadikan sebagai salah sumber hukum apabila suatu peristiwa hukum belum jelas penanganannya dalam undang-undang. Dalam kasus Lumpur Lapindo, berdasarkan analisis di atas, UU 26/2000 sudah cukup untuk menanganinya tanpa perlu menuggu ‘ekosida’ diatur dalam UU 26/2000 (yang mungkin akan diamandemen).
Argumentasi tulisan ini menyangkut yurisprudensi pelanggaran HAM berat semakin kuat karena dalam kasus Indonesia dewasa ini, pasca Orde Baru, telah terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam struktur kekuasaan di Indonesia. Pada zaman Orde Baru, negara sangat kuat sehingga sangat wajar pelanggaran HAM berat dilakukan oleh negara. Pada era ekonomi neoliberal pasca Orde Baru, korporasilah yang menguat (Batubara, 2009; Saleh 2012). Pada tahun 2009-2011 Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan 14.377 konflik antara petani dan investor. Sementara Komnas HAM sendiri menerima pengaduan pelanggaran HAM sebanyak 10.139 kasus pada rentang dua tahun terhitung surut dari bulan Juni 2012, dimana 1.557 kasus diantaranya adalah konflik agraria dan sumber daya alam (Kompas, 2012). Meskipun tidak jelas berapa komposisi konflik yang melibatkan perusahaan dalam pengaduan yang masuk ke Komnas HAM pada kisaran dua tahun di atas, akan tetapi sangat beralasan memprediksi bahwa presentasi konflik yang melibatkan korporasi pasti sangat besar. Dan, meskipun bukan sebuah perbandingan yang proporsional, tetapi untuk mendapatkan gambaran konteks Orde Baru, kita bisa melihat data kasus tanah yang ditangani Komnas HAM pada tahun 1994 dengan jumlah 101 kasus dan 168 kasus pada tahun 1995 (Lopa, 1996).
Berdasarkan analisis seperti yang disampaikan di atas, maka bagi saya sangat layak kalau dinyatakan bahwa kasus Lumpur Lapindo adalah pelanggaran HAM berat.


Sudut Pandang Penulis:
Nining Purwaningsih
A3-12 // 12144600104
Dosen: Selly Rahmawati, S.Pd, M.Pd.
TRAGEDI BENCANA LUMPUR LAPINDO

A.      Bencana Lumpur Lapindo
Bencana lumpur lapindo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).

Setelah kedalaman 9.297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi.
Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri

B.      Pernyataan Sikap dan Alasan
Menurut saya pada kasus bencana lumpur lapindo banyak terjadi pelanggaran HAM, bencana lumpur lapindo bukanlah sebuah bencana alam akan tetapi karena kesalahan dari manusianya yang bermula dari kesengajaan PT Lapindo Brantas untuk tidak memasang casing yang tepat pada sumur bor Banjar Panji 1 (BPJ 1). Kesengajaan tersebut bisa jadi disebabkan oleh keinginan menekan biaya produksi.
Pelanggaran HAM itu antara lain,  hak rasa aman, hak pengembangan diri, perumahan, pangan, kesehatan,  pelanggaran hak pekerja, hak atas pendidikan dan berkeluarga, kesejahteraan, jaminan sosial, hak para pengungsi sampai hak kelompok rentan, terbukti dari hak pribadi warga yang harus pindah paksa dari pemukimannya dikarenakan pemukiman diterjang oleh lumpur lapindo, bencana tersebut menjadikan perekonomian warga macet total karena warga tidak bisa menjalankan aktivitas bekerja seperti biasanya, dan gangguan kesehatan mulai merebak. Ditambah lagi lumpur itu juga merendam fasilitas umum seperti sekolah, kantor pemerintahan, pabrik 30 peruahaan dengan jumlah pekerja mencapai 2000 orang, pondok pesantren.
Tujuh tahun sudah tragedi luapan lumpur Lapindo meporakporandakan kehidupan warga sekitar Sidoarjo, tetapi sampai kini perhatian pemerintah minim. Pemulihan HAM puluhan ribu jiwa itu masih terabaikan.

C.      Saran
1.      Pemerintah hendaknya lebih peduli pada persoalan yang menciptakan pelanggaran  HAM, dan kerugian material serta masa depan ribuan orang ini.
2.      Pemerintah hendaknya lebih serius dalam menangani permasalahan lumpur lapindo ini, karena menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga persoalan kemanusiaan ini tuntas.
3.      Komnas HAM hendaknya segera memutuskan jenis-jenis pelanggaran HAM mengambil tindakan tegas terkait oknum-oknum yang menyebabkan terjadinya luapan lumpur di Sidoarjo sehingga pemulihan HAM puluhan ribu jiwa segera terselesaikan.
4.      Dari pihak PT Lapindo Brantas hendaknya segera memenuhi perjanjian berkas-berkas dengan korban agar meringankan beban korban.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar